Catatan Betmen

Nov 12, 2012

Sanah Helwah IAIN Ar-Raniry



Kampus Iain (Google)
Oleh Muhibussabri Hamid

Al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukumiyah Ar-Raniry atau Institute Agama Islam Negeri Ar-Raniry ( IAIN Ar-Raniry) dikisahkan berumur hampir setengah abad. Ia telah berumur sekitar 49 tahun dalam belantika pendidikan Aceh. Mewarnai bengkok lurusnya pandidikan kita, jatuh bangun generasi dan carut marut pemerintahan terkhusus di Aceh.

Institute ini diresmikan pada tanggal 5 Oktober 1963, setelah dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 1963. Dinisbahkan kepada Ar-Raniry seorang Ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani atau Iskandar II (memerintah tahun 1637-1641). Nama lengkapnya Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, berasal dari Ranir (sekarang Rander) di Gujarat, India.

Pintu Gerbang Kopelma (Google)
Perjalanan iain telah melewati 11 kepemimpinan dalam hal ini rektor sebagai kepala. Di awal berdirinya Ar-Raniry hanya memiliki sekitar tiga fakultas saja. Namun kini sudah memiliki lima fakultas ditambah program pasca sarjana.
After and Before

Secara kelembagaan IAIN Ar-Raniry berada di bawah Kementerian Agama R.I baik secara teknis akademis maupun fungsional. Sedang pengawasan dan pelaksanaannya diserahkan kepada Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis). 

Sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi yang mengelola bidang studi dasar agama Islam Ar-Raniry di usia sekarang terus berusaha memperbaiki dan berbenah. Sektor fasilitas, kualitas dan kuantitas terus digarap secepat mungkin demi tercapainnya cita-cita disamping mengejar perubahan status dari institute ke universitas. Perubahan staus ini akan membuat IAIN memiliki lebih banyak fakultas tambahan sebagai kelengkapan syarat akademik UIN.
Secara fasilitas IAIN Ar-Raniry sedang membangun, merehap dan melengkapi gedung pasca tsunami. Disamping sebagai syarat kelangkapan fasilitas menuju perubahan status. Pembangunan besar-besaran fasilitas diharapkan mampu menjadikan IAIN lebih bermutu dan baik disegi tata bangunannya.
Kualitas pendidikan Aceh mengenal warna IAIN, para alumni punya kiprah dalam segala bentuk gerak pemerintahan Aceh. Sejak periode perintisan pembangunannya, kemudian dilanjutkan pertumbuhan hingga pembaruan. IAIN dan mahasiswanya memiliki peran penting, baik masa DOM, Darurat Militer, Darurat Sipil, tsunami sampai sekarang.
Barometer Rakyat

Sejak masa Gubernur A. Hasjmy (1963-1965) Ar-Raniry memiliki arti besar bagi rakyat. Sematan "jantong hate rakyat Aceh" tidak bisa di abaikan begitu saja oleh civitas akademik. Begitu pula dengan mahasiswanya, mereka memiliki tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial demi terjaganya sematan "Jantoeng hate" bagi almamater mereka.

Sesekali pihak IAIN perlu perlu tau, seberapa berharganya IAIN di mata rakyat sekarang. Dengan konflik internal yang perlu diselesaikan segera, keadaan alumni yang mereka lahirkan, kualitas pendidikan yang mereka tawarkan dan kebobrokan di berbagai segi yang tentunya membuat noktah-noktah kecil tepat di jantoeng hate.

Rakyat mengenal IAIN sebagai intitusi pendukung utama Syariat Islam, sama seperti kenalnya mereka dengan nama Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, mufti sekaligus ulama mashur bersahaja pada masanya. Dengan keilmuan dan kemampuannya yang matang. Ia mampu menjaga stabilitas Islam pada masa itu. Maka tentu saja harapan rakyat terhadap alumni yang kapabel untuk masa depan Islam adalah keniscayaan.

Mahasiswa IAIN dikenal dengan mahasiswa yang kental, kentara dan loyal terhadap terjaganya Islam. Bukan berarti mahasiswa lain tidak memiliki kiprah dalam membesarkan syariat Islam. Namun tetap saja andil IAIN diharapkan lebih besar, mengingat sebagai institusi besar di Aceh yang mempunyai hampir semua kelengkapan, baik fakultas maupun insan akademik.
Masih kental terasa ketika IAIN ketika masih bergelut dengan sistem konservatif, banyak cerita kaum lama bahwa masa itu IAIN lebih terasa kualitasnya, walaupun sedikit sarjana yang berhasil menamatkan pendidikan. "Awai alumni IAIN trok bak kitab kuneng juet dibaca, tapi jinoe meu Al-Qur'an yang na bareh hana lancar dibaca pue lom kitab ciet han jeut dibaca". Curhat seorang dosen senior IAIN sekitar akhir 2009.

Namum seiring waktu kita memang perlu berbenah, berbenah sistem tanpa mengurangi efektifitas proses dan hasil pendidikan itu sendiri. Baiknya sistem tidak menjadi tuan untuk sebuah institusi, namun menjadi penompang utama supaya pendidikan lebih efisien dan terkontrol.

Bagaimanpun moderennya sebuah tempat pendidikan masyarakat tetap melihat hasil yang dilahirkan institusi tersebut. Mungkin Al-Azhar Mesir bukan perbandingan yang sebanding di segi umur, namun jika kita mau melihat, kedigyaannya belum bisa disaingi oleh universitas di Mesir dan di belahan dunia lainnya.
Jika melihat sistem, Al-Azhar masih bertahan dengan sistem konservatif walaupun sudah merambah sedikit demi sedikit ke arah modern. Gedung belajar mengajar berumur ratusan tahun. Tapi rakyat sangat  menghormati dan menjadikan Al-Azhar sebagai sumber utama perputaran intelektual mereka.
Alumni berusaha semampu mungkin menjaga nama baik Azhar, menjaga nilai-nilai Islam dan bergaya yang selayak mungkin di hadapan masyarakat. Begitu juga dengan pengajar yang menjaga perasaan rakyat dengan tidak bertingkah royal, tetap membumi menjadi satu nilai tersendiri bagi masyarakat.
Agaknya ini juga menjadi sebuah barometer kasat mata. Yang sebenarnya lebih penting dari unsur lain seperti sistem dan bangunan. Masyarakat hanya tau kita tamatan IAIN dan bisa diharapkan dalam hal apapun. Jika mereka melihat cacat dalam tingkah dan moralitas, sedikit demi sedikit kepercayaan mereka terkikis.
Kita terus percaya IAIN akan mampu kembali merajut kepercayaan masyarakat. Membuktikan pada masyarakat kita hawa IAIN masih layak tersemat dan bertahta di "jantoeng hate rakyat Aceh" sampai kapan pun. Semoga!

0 Coment:

Post a Comment

Popular Posts

bilhalib.blogspot.com. Powered by Blogger.