Catatan Betmen

Aug 26, 2013

Tabayun, Oh Tabayun


Penyakit pertama yang akan saya alami ketika membuka facebook adalah merasa marah dendam dan agak meuapam. Kedua akan ada beberapa hal yang harus saya lakukan untuk menghilangkan rasa tersebut, diantaranya dengan beristhigfar atau mengambil wudhu atau menuntup kembali akun fb saya.

Bagaimana tidak, saya mulai terasingkan dengan berita-berita yang amat membahayakan pembaca yang jauh dari pengetahuan terhadap informasi yang dikonsumsinya. Saya pun merasa jika saya bukan ditanah ini, mungkin saya akan mengutuk dan mendoakan tokoh-tokoh yang digambarkan mereka dengan wajah yang buruk sekali.

Belakangan saya menghilangkan list sebagai bacaan beberapa website mutasyaddidin. Saya berhasil meninggalkan beberapanya lagi dengan dalih sebagai media dakwah yang baik dan mencerahkan. Paling tidak informasi yang mereka berikan lebih baik dan terpencaya dibandingkan media yang telah masuk blacklist. 

Dan hari ini sepertinya daftar hitam tersebut akan bertambah seiring perkembngan informasi yang mereka sajikan. Jika seandainya media sekuler berbicara, yang terambar adalah hanya kebohongan yang mereka sampaikan, atau bisa jadi sampah yang didaur untuk menjadi uang. Nah, kalau yang melakukannya adalah media Islam, alias media yang mengagungkan dan membawa nilai Islam, kira-kira bagaimana respon kita.

 Sir, kita juga media. Artinya kita bisa saja menyampaikan berita fitnah yang akan membuat luka, bernanah, bau dan berulat. Ketika kita membaca berita media yang kita klaim sebagai media fitnah dengan bertabayyun, maka selayaknya kita menetapkan standar yang sama terhadap media yang kita klaim media dakwah. Karena sebagai media, ruang fitnah berlaku pada semua media. Bagitu pandangan naif saya.

Akibat dari inbok beberapa rekan yang meminta konfirmasi terhadap berita nyut-nyut tersebut. Saya memberanikan diri mengecek dan mencari apa sebenarnya kejadian di dunia media Islam. Dan faktanya adalah sangat-sangat menegangkan. Beberapa hari tidak membaca berita, serasa saya sudah ditinggalkan bertahun oleh media tersebut (tanda kutip).

Bukan hanya satu berita yang menurut saya mengerikan, tapi banyak sekali yang semakin dibaca semakin membawa saya kepada emosi yang meluap-luap. Jika saya esmosi karena ketidakselarasan berita tersebut. Saya membayangkan esmosi si pembaca terhadap isi berita tersebut (baca ; termakan). Maka akan lahir doa-doa pengkafiran dan peliberalan serta pengutukan yang membabi buta.

Bagi saya, ada beberapa generalisasi yang saya takutkan ketika lebih jauh menatap beberapa laman website tersebut. Adanya kemungkinan penggiringan opini publik menuju pemburukan karakter terhadap golongan tertentu dengan membunuh karakter tokoh, sehingga lambat laun masyarakat akan mengklaim bahwa tokoh tersebut tidak bisa dipercaya.

Jikapun nanti tokoh ataupun golongan tersebut dibantai maka hal tersebut akan dianggap sah oleh khalayak. Dan kita persis melihat kejadian ini di Suriah, ketika Almarhum Syeh Buthi Syahid. Dengan sajian fitnah yang membabi buta. Dan faktanya adalah pembantaian masyarakat sipil oleh pemerintah Syiah. Dan siapa kira-kira yang akan menyelesaikan konflik disana? Oke, kita tidak membicarakan masa lalu, dan tidak melanjutkan klaim aneh.

Kemungkinan yang lain adalah adanya upaya pelepasan label azhar dari ahlussunnah yang menerima mazhab mu’tabar, menuju tidak bermazhab. Dan upaya ini telah dirancang berpuluh-puluh tahun yang lalu sehingga tidak  tertutup kemungkinan sekarang adalah waktu yang tepat untuk merealisasikannya. (Dan semoga keduanya tidak benar, artinya hana berada didalam pikiran saja).


(*Tulisan ini ditulis dengan rasa keanehan tersendiri, ketakutan akan fitnah dan ketakutan akan memfitnah.

Aku dan Duktur Abdurrahman (1)

Foto Ketika Menghadiri Acara Walimah Putra Duktur Abdurrahman

\“Jenazah gopnyan jino ka trok u rumoh…darah mantong meu jein-jein bak rinyeun”. (Fb : IjubKhan Tripa)

Menit pertama setelah diberitahukan bahwa duktur (panggilan kami terhadap ayahanda Dr. Abdurrahman Uwais) telah berpulang ke rahmatullah, yang kurasakan adalah laju bumi ini sedikit melambat. Dan rongga dada seperti disesaki raungan dan auman kesedihan.

Bola mata seperti akan basah, namun tetap harus kutahan. Teman-teman disampingku tau kalau berita ini sangat membuatku terpukul. Mereka tidak banyak bertanya, hanya mendengarkan kalimat perkalimat saja. Setelah itu kami kembali terdiam.

Sesaat aku tersenyum, beristhigfar dalam hati ,mencoba agar rasa sesak sedikit demi sedikit hilang. “beliau pantas mendapatkannya, beliau pantas mendapat pahala syahid, menuju pangkuan ilahi rabbi”.

Ayah rohani
Beliau itu, ayah rohani kami. Ayah yang selalu mengisi hati dengan mutiara suci, mengasah lidah kami dengan zikir dan menutup mulut kami dikala dunia dan seisinya saling menghujat serta mengkafirkan. Jikalau ada yang bertanya kepadaku kenapa penghuni rumah kami sangat berhati-hati menulis tetang konflik mesir, sepi hujatan-hujatan keji dan pengkafiran adalah karena beliau selalu menasehati kami untuk menjaga lidah dari keburukan dunia akhirat.

Beliau itu ahli ibadah, hafiz dan alhi tafsir. Bacaan disetiap shalat fardhu satu rubu dan setiap tarawih atau witir satu juz dengan bacaan beliau pun sangat lambat demi menjaga tajwid dan harakah agar tidak salah. Sangat sedikit jamaah di mesjid kami, hanya beberapa orang saja yang menjadi jamaah wajib.

Almarhum sangat zuhud, sederhana dan bersahaja. Aku tidak pernah meilihat beliau berpergian dengan mobil pribadi. Sepertinya beliau tidak punya mobil. Yang terparkir didepan rumah hanya mobil tetangga yang menyewa flat beliau. Berpergian untuk mengajar di Universitas Al-Azhar saja beliau tempuh dengan Metro (kereta api listrik). Tidak ada bedanya dengan kami yang mahasiswa.

Aku hidup bersamanya dalam tiga huru-hara, mulai dari masa Mubarak, Dr. Mursi dan As-Sisi. Namun yang kurasa adalah sikap dan kepribadian “mengajak kepada kebaikan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” beliau tetap tidak selangkahpun goyah. Beliau itu sudah berkali-kali keluar masuk penjara, namun Allah Swt. Selalu menyelamatkannya hingga ajal menjemput menemui rabb-Nya kemarin di medan rab’ah.

Beliau tidak pernah memberiku izin untuk mencium tangannya ketika kami bersalaman disetiap selesai shalat lima waktu, hingga subuh kedua hari raya kemarin, Ia memberikanku hadiah spesial yaitu mencium tangannya sambil dengan wajah tersenyum melihatku. Sebelumnya subuh 29 Ramadhan beliau mengajak kami (via kawan) untuk Shalat Ied di Medan Rab’ah. Namun kawan kami (fitra) menolaknya dengan halus karena kondisi memang betul-betul tidak memungkinkan.

Terus membekas
Duktur, kenangan ini tidak bisa kuhapus, air mata tidak bisa kubendung. Sungguh aku juga tidak bisa menjadi pribadi sepertimu. Namun aku akan terus menjaga pesan, kesan dan pelajaran berhargamu sebagai bekalan kehidupan dunia dan akhirat. Aku bukan seorang hafiz sepertinmu, penyabar yang ketika ditangkap dan diborgol hanya tersenyum manis sambil mengucabkan ‘hasbunallah wa ni’mal wakil’. Tapi diketika berkhutbah suaramu membesar meneriaki kezaliman, layaknya singa yang siap menerkam mangsanya.

Sungguh air mataku berderai ketika membaca komentar “Jenazah gopnyan jino ka trok u rumoh…darah mantong meu jein-jein bak rinyeun”. Tak kuasa aku menahan tangis. Aku yakin, Allah melahirkan Abdurrahman-abdurrahman yang lain untuk menyambung risalahmu.

Aku tidak bersedih atas kepulanganmu kehadhirat ilahi rabbi karena itu janji-Nya, namun akan sangat menyakitkan bagiku jika tidak bisa mencium keningmu untuk terakhir kali.

**Hanya kepada Allah saja harapan ini kusandarkan.

  • Qatamea, 15 Agustus 2013.

Popular Posts

bilhalib.blogspot.com. Powered by Blogger.