Bad Ending Qanun Wali Nanggroe
![]() |
| Demo Suku Gayo (Google) |
Written By : Muhibussabri Hamid
Pengesahan Qanun Wali Nanggroe (QWN) telah diumumkan. Berbagai tanggapan terhadap qanun mulai semarak terdengar, sedikit demi sedikit meluas dan berkembang menjadi isu hangat.
Sebagian merespon dengan Qanun WN tersebut dengan ancaman Gayo Merdeka, Gayo Merdeka Demo DPRASerambi 3/11/2012.Dalam aksi kemarin disuarakan keinginan agar sistem pemerintahan Adat Gayo diperkuat dan pemerintah pusat didesak untuk mempercepat pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA), Serambi, Massa Tolak Qanun WN9/11/12.
Carut-marut ketidakpastian sistem, lembaga dan mengancam keberagaman disebutkan dalam tulisan opini Muchlis Gayo, Potensi Disintegrasi di Aceh, Serambi Indonesia 8/11/2012. Alih-alih membuat rakyat Aceh bersatu, malah kini membuat pematik dan ditakutkan menjadi bara api yang sangat mengancam persatuan serta kesatuan Povinsi Aceh.
Muchlis juga menyebutkan perlunya penjelasan resmi dari pihak terkait mengenai kriteria wali tersebut. Tentu saja termasuk proses pemilihan wali, apakah dipilih berdasarkan keturunan, penunjukan atau pemilihan secara demokrasi?
Sementara penggiat penerapan syariat menganggap QWN patut direspon dengan sedih, pilu dan malu dikarenakan tidak dicantumkannya kriteria atau poin syarat mampu baca Alquran dalam Qanun Wali Nanggroe yang telah disahkan tidak dicantumkan secara eksplisit syarat tersebut, Al-Quran dan wibawa wali nanggroe Oleh Teuku Zulkhairi 6/11/12.
Dua respon ini seakan menempatkan QWN sebagai sengatan yang menyentak jantung keamanan serta perdamaian yang baru saja kita peroleh. Betapa tidak, disatu sisi masyarakat pedalaman berharap hadirnya wali akan menjadi solusi dari terisolir dan ketertinggalan wilayah mereka dari pembangunan serta kesejahteraan. Bagi syariat sendiri, kehadiran wali diharapkan akan menjadi penompang penerapan syariat. Disamping sebagai tonggak utama kedamaian, kebudayaan dan persatuan.
Dengan harapan seperti itu, tentu saja hasil qanun seperti menghujam nadi masyarakat, bagaimana harapan terwujud sementara qanun bentuk keberadaan wali sendiri jauh dari cita-cita tersebut. Walaupun sebenarnya bisa saja wali akan lebih tau dan bijak terhadap kesemua asa dan harapan.
Kehadiran Lembaga Wali Nanggroe di Aceh sendiri merupakan amanah MoU Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 antara pemerintah RI dan GAM , point 1.1.7 dan Pasal 96 (1) (2) (3), Pasal 98, Pasal 99 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Lembaga Wali Nanggroe Pemerintahan Aceh, UU Nomor 11 Tahun 2009 mengenai Pemerintahan Aceh.
![]() |
| Hasan Tiro Muda (Google) |
Demokrasi Ala Wali
Muhammad Hamka dalam laman lintasgayo.com dengan opini yang berjudul Qanun Wali Nanggroe dan Neo patrimonialisme, 9 November 2012, menulis "Kita patut menyoal “logika minus” anggota DPRA yang memutuskan sebuah produk hukum tanpa memerhatikan secara serius aspirasi publik yang merasa keberadaanya di Aceh di zalimi oleh kehendak (politik) kelompok mayoritas".
Pembuatan QWN seharusnya tidak berwajah arogan dan memihak kelompok serta tidak membuka pematik masalah baru. Sebab kepemilikan institusi lembaga wali sendiri bukan untuk golongan tertentu. Maka secara normal baik dari pembuatan draf (legal drafting), pengesahan hingga poin-poin qanun tentu harus merujuk kepentingan bersama, bukan pihak legisiasi saja.
Jika euforia wali terkesan menafikan golongan lain, maka kewibawaan serta nilai lembaga dan tokoh wali sendiri akan terlihat remeh. Sebab wali terkesan tidak demokrasi, adikuasa dan semena-mena. Padahal tujuan dari lembaga dan tokoh tersebut untuk mencibtakan keadilan, kewibawaan serta kedamaian Aceh.
Dalam kacamata rakyat, seorang wali sederhananya mampu menjadi sosok yang mewakili Aceh dalam berbagai sisi nilai yang mereka punya. Dan jika dikembalikan faktor masa lalu, tokoh wali merupakan implementasi dari pemimpin Aceh dengan pribadi yang kaya ilmu agama dan memiliki ikatan kuat dengan rakyat Aceh, seperti Tgk Syiek di Tiro yang punya kedekatan mental dan ciri khas tersendiri.
Dimasa sekarang sulit sekali melihat sosok pribadi wali, namun ideal sang wali nantinya diharapkan menjadi duta bagianpencitraan Aceh di mata nasional maupun internasional. Sehingga ketenaran korupsi di wilayah otonimi ini bisa sedikit terkikis.
Kriteria wali diantaranya beragama Islam. Sedangkan ukuran seorang muslim yang standar umum, mampu membaca Al-Quran dengan baik dan lancar. Maka menafikan poin Al-Qur'an sebagai syarat mampu membaca A-Qur'an sangat rancu. Kalaupun ditinjau secara budaya orang Aceh adalah orang sangat gemar membudayakan baca Al-Quran, baik secara formal atau non formal. Tentu kelayakan poin tersebut hendaknya bisa menjadi priorotas. Ditambah bisa bahasa asing paling kurang bahasa Arab dan Inggris. Jadi tidak perlu kita takutkan untuk di tulis poin tersebut, karena akan mengangkat maruah wali yang bisa berbahasa Arab, dibuktikan dengan membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar.
Alasan adanya tes baca Al-Quran tanpa adanya poin qanun bisa diterima, namun dalam menafsirkannya (interpretation) oleh masyarakat biasa bisa bermasalah. Ditakutkan akan membuat ketimpangan baru kedepannya. Begitu juga dengan poin seorang wali harus bisa bahasa Aceh. Jika tidak diperjelas, maka kedepan akan membuka pintu perselisihan ketika ada calon wali yang tidak bisa bahasa Aceh, padahal dia orang Aceh. Namun ada diantara orang Aceh yang lebih kental dengan bahasa khas mereka, seperti suku Gayo dan Alas. Padahal secara morfologi Aceh mereka merupakan kesatuan dari provinsi Aceh.
Kita berharap Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf, dengan program unggulan pembangunan Aceh yang berlandaskan akhlak dan moralitas bisa diwujudkan, tentu saja salah dengan mengarahkan kembali poin-poin QWN tersebut dengan nilai Islami serta dengan menjunjung tinggi rasa keacehan kita.
WN bukanlah refleksi tokoh yang mempunyai hak kuasa mutlak memutuskan apa saja tanpa melihat sikap rakyat. Kita hidup sekarang dengan sistem demokrasi bukan kerajaan. Bijaknya Wali Nanggroe (Old Kingdom) bisa dipadukan dengan Demokrasi (New System), tanpa menghilangkan ciri khas dari wali sendiri. Ingat, WN adalah implemntasi adat dan amanah perdamaian. Semoga niat baik UUPA tidak menjadi bumerang, ketika dilempar akan kembali mengarak ke muka si pelempar. Kalaupun kembali, semoga si pelempar bisa menagkapnya denga lembut dan bijaksana. Semoga!


0 Coment:
Post a Comment